Siang menjelang sore. Ini hari ketiga umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa tahun ini. Sebagian orang melebur dalam lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an di surau-surau maupun masjid. Sebagian lagi ada yang asik rebahan bersama Handphone kesayangannya.
Aku sendiri juga tak punya banyak aktivitas selain bersantai di tepi sungai Lima Bidadari sambil menikmati angin segar. Berteduh dibawah pohon Kersen yang rindang, menunggu azan maghrib dikumandangkan.
Dari kejauhan, aku melihat seorang kurir berjalan ke arahku. Sesaat kemudian, tanpa basa-basi ia langsung menyodorkan sebuah Box Paket berukuran sedang terbungkus plastik warna hitam.
“Untuk siapa ini, Pak?”, tanyaku.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, kurir yang menutup separuh wajahnya dengan masker itu langsung membalikkan badan dan kembali ke motornya lalu bergegas pergi.
“Perasaan beberapa hari ini aku gak belanja online, deh. Tapi di sini, kok, tertulis nama dan alamat lengkapku. Siapa yang ngirim ya”, tanyaku membatin.
Aku buka pelan-pelan Box Paket misterius itu. Didalamnya tak ada apa-apa selain sepucuk surat yang dilipat rapi. Aku buka surat itu lalu aku baca berlahan dengan lirih.
To: Rita Amalia
Address: Bondowoso
Hay, Rita. Apa kabar?
Gimana puasamu hari ini?
Mudah-mudahan lancar ya
Jangan lupa selalu jaga kesehatan
Oh iya, kamu bilang mau foto Selfi sambil pakai mukenah sehabis tarawih terus dibikin Story WhatsApp, mana? Kok gak ada? Kayak orang-orang alay gitu lho, foto tarawihmu dibikin SW terus diberi caption begini, ‘Alhamdulillah, taraweh di hari keempat lancar’. Kan jadi lucu. Haha…
Jangan telat sahur ya
Babay Rita
What? Rita? Siapa Rita? Aku kan Nayla, bukan Rita. Wah, Box Paket ini pasti salah alamat, deh.
Eh, tapi di Box Paket ini tertulis Nayla Khairunnisa. Artinya Box Paket ini memang untukku. Ya, untuk Nayla, bukan untuk Rita. By the way, kenapa surat ini ditujukan ke Rita?.
Wah, ini pasti ada yang gak beres. Aku harus mengejar kurir itu. Box Paket ini harus sampai ke pemiliknya. Ya, jelas ini salah alamat. Aku yakin seribu persen ini paket sebenarnya untuk Rita, bukan untuk Nayla.
Kalau tidak salah, tadi tukang kurir itu pergi ke arah selatan. Yeps, aku langsung mengejarnya dengan motor baruku. Aku tancap gas. Motor melaju kencang.
Setibanya di persimpangan jalan, aku berhenti sejenak. Aku tidak tahu apakah kurir itu belok ke arah kiri atau kanan.
Duh, ya sudahlah. Untung-untungan saja aku mengikuti jalan yang ke arah kiri. Kebetulan itu arah jalan pulang, kok.
Setibanya di samping lapangan bola, seluruh pemain dan puluhan supporter semua menoleh kepadaku. Mereka serentak berkata: Hay Rita, Selamat Menunaikan Ibadah Puasa ya.
“Woyyy, aku bukan Rita, aku Nayla. Kalian salah lihat”, ucapku ketus.
Tapi mereka seakan tak peduli. Tetap saja mereka ramai-ramai menteriaki aku Rita. Seingatku, dari tadi kayaknya aku sudah ratusan kali, deh, bolak-balik bercermin di Spion Motorku. Tapi tetap saja wajahku tak berubah.
“Kesel banget, deh, hari ini. Masak semua orang pada salah lihat. Jelas-jelas aku Nayla, masih saja dipanggil Rita”, ujarku terus menggerutu.
Duh, nampaknya tukang kurir itu sudah terlalu jauh untuk dikejar. Lagipula Box Paket ini tidak berisi barang-barang yang berharga, hanya berisi sepucuk surat yang tak berarti. Hilang gak rugi, nemu gak untung, dijual juga gak bakal laku.
Daripada bingung sendiri, mendingan aku kembali ke rumah saja sambil lalu menunggu beduk. Toh, aku juga gak tahu di mana Rita bersarang.
Setibanya di tikungan kelok tiga, aku melihat ada sesuatu yang aneh di Banner berukuran besar yang biasanya digunakan oleh Parpol maupun Calon Pilkada untuk berkampanye.
Di Banner itu, terpampang foto Bupati dan Wakil Bupati sambil tersenyum merekah. Disamping gambar mereka, terdapat sebait kata dicetak miring: Tetap Semangat untuk Rita. Jangan Malas ngerjakan Skripsi. Jadilah yang terbaik.
Oh My God, Aku terus tancap gas. Aku hampir muak dengan semua ini. Lama-lama aku bisa gila gara-gara makhluk yang namanya Rita ini.
Begitu tiba di rumah, aku melihat ada setangkai Bunga Mawar di atas meja teras rumahku. Entah siapa yang meletakkannya. Aku meraihnya. Di tangkainya terselip kertas warna biru bertuliskan,
Selamat menjalankan ibadah puasa ya, Rita. Ets, jangan lupa, Skripsinya harus diselesaikan lebih awal biar kamu bisa bersantai nanti sekembalinya ke pesantren. Kalau butuh bantuan, chat aja jangan sungkan.
What? Rita lagi Rita lagi. Siapa sih Rita itu? Kenapa dunia seketika tiba-tiba jadi aneh sekali hari ini, ya?.
Di alam semesta ini, kan, banyak nama, tapi kenapa hanya Rita saja yang disebut-sebut sama orang di sepanjang perjalanan pulangku tadi?.
Bukankah di luar sana masih ada Nayla, Sitty, Mutma’innah, Diana, Romlah, Nadiva, Ulki, Lylu dan jutaan wanita lain yang menjadi penduduk bumi, huh?
“Woyyy… Ritaaa. Kamu siapaaa? Kenapa semua orang mengira aku ini dirimuuu? Kamu ada di manaaa? Ini ada ucapan buatmuuu. Ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Bahkan ada kata-kata dari Bapak Bupati, katanya jangan malas ngerjakan Skripsi. Kamu dengar gaaakkk?”, teriakku dengan lantang.
Ya, sudahlah. Aku capek. Aku mau istirahat saja. Eh, enggak. Maksudku, aku mendingan langsung mandi terus siap-siap buat buka puasa.
Lalu soal Rita gimana? Bodo amat. aku ini Nayla dan sama sekali gak kenal Rita. Mungkin saja dia temannya si penulis yang mengarang cerita ini. Ya, kira-kira begitu. (*)
*Buah karya: Zainul Hasan