Ekspedisi Barong Nusantara (E-BARA) lahir dari semangat para pemuda Nusantara yang merasa terhina oleh kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), yang lebih mengutamakan ekspor benih lobster ke Vietnam tanpa membangun ekosistem budidaya lobster di Indonesia.
Persyaratan budidaya lobster yang seolah menjadi syarat untuk ekspor benih lobster ke Vietnam hanyalah ilusi belaka.
Kebijakan ini justru memperkaya negara lain, sementara nelayan dan pembudidaya lokal tetap terpinggirkan.
Menteri yang hanya pandai bersandiwara seperti ini layak dipenjara, bukan sekadar direshuffle dari kabinet.
Sudah saatnya Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap tegas dengan merombak kabinetnya.
Terlalu banyak pejabat yang hanya menjadi beban bagi pemerintahan dan merusak wibawa negara.
E-BARA hadir sebagai gerakan untuk mengembalikan kehormatan bangsa. Indonesia adalah pemilik benih lobster, tetapi Vietnam justru menjadi pemain utama dalam ekspor lobster dunia.
Ironisnya, benih lobster yang mereka budidayakan berasal dari Indonesia, baik melalui jalur penyelundupan maupun ekspor legal yang diduga dimonopoli oleh Menteri KKP dan kroni-kroninya.
Dengan semangat patriotisme dan nasionalisme, E-BARA terus berkembang hingga melahirkan dua induk perusahaan, yaitu Bandar Laut Dunia Grup (BALAD GRUP) dan Raja Samudera Dunia Grup (RASADA GRUP).
Kedua grup ini kemudian membangun 58 anak perusahaan yang bergerak dalam budidaya lobster. Dalam perkembangannya, jaringan usaha ini bahkan meluas ke tiga negara, yaitu Cina, Hongkong, dan Singapura.
Ekspansi ini memperluas cakupan bisnis, tidak hanya di sektor lobster, tetapi juga mencakup kerapu, teripang, rumput laut, dan anggur laut.
Dari sinilah lahir konsep LOKETARU (Lobster, Kerapu, Teripang, Anggur Laut, Rumput Laut), yang kini telah membentuk jaringan bisnis di lima negara: Indonesia, Vietnam, Cina, Hongkong, dan Singapura.
Ke depan, kolaborasi antara GLORA Grup dan BALAD Grup akan melahirkan ribuan perusahaan budidaya di seluruh Nusantara.
Sepanjang tahun 2025, fokus utama saya adalah memperkuat E-BARA, yang kini berkembang menjadi E-PERBAYA NUSANTARA (Ekspedisi Perikanan Budidaya Nusantara).
Targetnya adalah membawa LOKETARU ke setidaknya 567 teluk di seluruh Indonesia.
Selain itu, saya akan melanjutkan upaya dalam pengelolaan tambang di Pulau Jawa melalui E-JAPA (Ekspedisi Jawa Dwipa), yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam.
Saat ini, saya telah menguasai lebih dari 1.000 tambang di Jawa dan Lampung.
Namun, sejak Juni 2020, pemerintah tidak menerbitkan satu pun konsesi energi baru, hanya melelang blok lama.
Saya bersama sejumlah perusahaan tambang telah mengajukan lebih dari 270 blok tambang batubara dan 80 blok tambang nikel, tetapi hingga kini respons dari Kementerian ESDM hanya sebatas permintaan untuk mengajukan ulang, karena belum ada kebijakan baru terkait izin konsesi.
Ironisnya, selama lima tahun terakhir, pemerintah justru melakukan moratorium izin tambang di daratan, tetapi memberikan izin eksploitasi tambang pasir laut kepada mantan narapidana kasus korupsi terbesar di negeri ini.
Menteri KKP juga menerbitkan kebijakan ekspor pasir laut, dengan izin pertama jatuh ke tangan eks napi tersebut.
Sementara itu, Singapura telah menyiapkan kontrak puluhan triliun untuk reklamasi pantainya, dan pasir laut dari Indonesia menjadi komoditas utama dalam proyek tersebut.
Pertanyaannya, apakah mantan koruptor ini benar-benar akan melakukan pengerukan sedimentasi secara bertanggung jawab, atau justru menjualnya secara besar-besaran demi kepentingan pribadi?
Menteri KKP yang penuh tipu daya ini sudah sepatutnya dicopot dari jabatannya dan diadili.
Kebijakan-kebijakannya lebih menguntungkan pihak asing dibandingkan rakyat sendiri.
Jika tidak segera ditindak, nasib kekayaan laut dan sumber daya alam Indonesia akan terus dikuasai oleh kepentingan segelintir elite yang hanya memikirkan keuntungan pribadi.
Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas! (*)
Penulis: Pendiri E-BARA, HRM. Khalilur R Abdullah Sahlawy
*Tulisan ini merupakan opini, bukan produk jurnalistik. Seluruh isi dalam tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi